Selamat datang di www.wartamaranatha.blogspot.com - Memberitakan Injil dan Mendewasakan Kerohanian

Sabtu, 28 Juni 2014

Anak-anak Bapa Di Sorga


Matius 5:48

    Kotbah di Bukit adalah pengajaran Tuhan Yesus tentang hubungan Bapa di Sorga dengan anak-anakNya. Ini nampak dengan digunakannya istilah “Bapa” 17 kali dalam kotbah di bukit dan istilah tersebut menunjuk pada Allah Bapa di Sorga [Matius 5:16,16,48; 1:1,4,6,8,9,14,15,18,26,32;7:11,21]. Ya, khotbah ini diperuntukkan anak-anak Bapa. Siapa anak-anak Bapa di Sorga? Alkitab, menegaskan bahwa setiap orang yang percaya dan menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat pribadinya [Yohanes 1:12]. Apakah Saudara adalah anak-anak Bapa? Percaya dan terima Tuhan Yesus maka saat ini juga Saudara dijadikanNya sebagai anak-anak Bapa di Sorga.
    
    Khotbah dibukit yang diajarkan Tuhan Yesus sangat menekankan bagaimana ciri-ciri seorang anak Bapa di Sorga. Puji Tuhan, bila Saudara adalah anak-anak Bapa di Sorga. Tetapi apakah Saudara memiliki ciri seorang anak Bapa?
 
1. Meneladani Bapa [ayat 44,48].
    Inilah ciri yang pertama: Meneladani Bapa di Sorga [ayat 48]. Tuhan Yesus mengajar “kamu harus sempurna, sama seperti Bapamu yang di Sorga”. Ya, seorang anak Bapa yang baik akan rindu meneladani ayahnya. Jika kita anak Bapa di Sorga kita akan ingin meneladani  Bapa kita bukan? Ingatlah, di dalam Kristus Yesus, kita adalah anak-anak Bapa. Bukankah anak-anak secara natur, secara alami mewarisi sifat-sifat ayahnya? Nah, bukankah aneh jika kita anak Bapa di Sorga, tetapi berkelakuan seperti Iblis? Ya, secara natur, kita seharusnya memiliki ‘sifat-sifat’ Bapa kita, Bapa yang ada di dalam Sorga. Mari kita teladani Bapa kita. Apakah ini bisa? Bagaimana mungkin? Mungkin saja, karena ini perintah Tuhan Yesus. Dan yang terpenting, bukan kita yang berusaha dengan kekuatan kita sendiri, tetapi Allah Tritunggal-lah yang yang berkarya bagi kita dan di dalam kita. Kita dapat hidup meneladani Bapa karena kuasa Roh kudus, karena cinta Kristus dan hati Bapa, bukan kekuatan kita. Teladanilah Bapa kita di Sorga. Pertama,  meneladani KEBENARAN dan KEKUDUSANNya [Matius 5:17-37]. Mari kita teladani kebenaran dan kekudusan Bapa. Hiduplah sebagai anak-anak Bapa dalam perkataan dan tindakan yang benar dan kudus. Kedua, meneladani KASIHNya [Matius 5:38-47]. Kasih Bapa, kasih yang memberi, mengampuni dan mengasihi bukan hanya orang-orang yang baik dengan kita, bahkan yang memusuhi kita. Apakah kita anak Bapa? Teladanilah Bapa kita.
 
2. Memuliakan Bapa  [ayat 16].
     Tuhan Yesus mengajar bagaimana  seorang anak yang baik, pasti bangga kepada Bapa-Nya dan  rindu orang lain melihat kebaikan BapaNya. Dan “Bapa dimuliakan” ada kerinduan dan doa anak-anak Bapa [Matius 6:9]. Nah, apakah kita anak-anak Bapa di Sorga? Rindukah Saudara memuliakan Bapa? Mari kita bukan hanya mendoakan agar Bapa dimuliakan, tetapi juga ‘mengusahakannya’ dengan perbuatan baik dan kebenaran [Matius 5:38-47]. Dengan demikian nama Bapa dimuliakan karena perbuatan kita yang benar dan dalam kasih.
 
3. Menyenangkan Bapa  [Matius 6:1].
    Tingkah laku seorang anak Bapa yang baik pasti rindu menyenangkan hati Bapa-nya. Perhatikan kata “upah” bukan dalam arti balas budi, tetapi menekankan bahwa Bapa memperhatikan dan menunjukkan perkenananNya atas ‘usaha ’ menyenangkan hatiNya. Masakan seorang ayah yang memberikan anaknya upah, bukan kasih dan perhatian. Bila seorang ayah baik kepada anaknya, bukan karena memberi upah, tetapi karena dia memang anaknya. Bapa tahu apa yang kita lakukan untuk menyenangkan hatiNya. Dia tahu ibadah kita, pelayanan dan persembahan kita. Mari kita rindu menyenangkan hati anakNya, ini saatnya kita juga menyenangkan hatiNya. Mari kita senangkan hati Bapa dengan ibadah, pelayanan, persembahan, disertai karakter Bapa yang bertumbuh dalam kita.
    
    Kita adalah anak-anak Bapa, mari kita meneladani Bapa, memuliakan dan belajar menyenangkan hatiNya. Bapa, kami anak-anakMu...

Pdt. Lukas Widiyanto, M.Th.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Alasan Tidak Membayar Perpuluhan

Tiga orang yang berbeda profesi sedang berdiskusi soal perpuluhan. Mereka masing-masing mengemukakan alasan mengapa mereka belum membayar perpuluhan.

Akuntan: Saya belum membayar perpuluhan karena belum menerima surat tagihan dari Tuhan.

Pengacara: Kalau saya belum membayar perpuluhan karena belum ada undang-undang yang mengaturnya.

Bankir: Saya sih sudah lama mau membayar perpuluhan, tapi sampai sekarang saya belum tahu nomor rekening Tuhan.

cabe deeeh....

ALBUM KENANGAN